Selasa, 21 Oktober 2014

Resensi Film "SANG KYAI"

Diposting oleh Unknown di 10/21/2014 05:00:00 PM
RESENSI FILM “SANG KYAI”


Judul                           : Sang Kyai


Produser                      : Gope T Samtani


Sutradara                     : Rako Prijanto


Penulis                         : Anggoro Saronto


Pemain                        : Ikranagara (KH Hasyim Asy’ari), Christine Hakim (Masrurah/nyai

                                      Kapu), Adipati Dolken (Harun), Miriza Febriyani Batubara (Sari), Agus

                                      Kuncoro Adi (KH Wahid Hasyim), Dimas Aditya (Hamzah), Royham

                                      Hidayat (Khamid), Ernestsan Samudera (Abdi), Ayes Kassar

                                      (Baidhowi), Boy Permana (KH Karim Hasyim), Dayat Simbaia (KH

                                      Yusuf Hasyim), Dymas Agust (KH Mas Mansur), Andrew

                                      tigg (Brigadir Mallaby), Arswendi Nasution (KH A Wahab Hasbullah),

                                      Norman Rivianto Akyuwen (kang Solichin).



Tanggal Edar               : 30 Mei 2013

Tayang Kembali          : 9 Januari 2014

Waktu                         : 2 jam16 menit 27 detik


     “SANG KYAI” merupakan sebuah film karya anak bangsa yang ditampilkan kepada rakyat Indonesia, diproduksi oleh RAPI FILMS dan disutradarai oleh Rako Prijanto. Film  ini merupakan film yang bertemakan tentang kepahlawanan yang menceritakan tentang seorang pejuang kemerdekaan sekaligus pendiri “Nahdatul Ulama” dari Jombang,Jawa Timur yakni Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari.Film ini sangat disarankan untuk ditonton oleh semua masyarakat Indonesia untuk mengingatkan kembali bagaimana jerih payah para ulama dan pejuang Islam dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia.


     Film ini dimulai dari sebuah kisah di pondok pesantren Tebuireng Jombang,Jawa Timur yang tenang dan khusyuk. Banyak santri yang datang untuk menuntut ilmu agama di pondok tersebut.

     Pada permulaan film ini kyai sedang membantu para petani memanen hasil buminya di sawah. Kyai sempat berbincang dan memberi sedikit masukan tentang hidup mandiri. Dengan membantu para petani memanen di sawah, kita semua bisa menghargai nasi yang kita makan setiap harinya “al i’timadu ala nafsi” artinya kita harus mandiri, karena adanya sebuah pesantren sama sekali tidak menganjurkan untuk membebani santri.

     Sepulang dari sawah, kyai sempat mampir di pasar untuk membeli sebuah kerudung untuk istrinya nyai kepu. Saat keluar dari pasar kyai melihat Harun memandangi seorang santriwati yang bernama Sari, lalu kyai menjanjikan kepada Harun untuk melamar Sari untuk dirinya. 

     Sampainya di rumah Hadratussyaikh memberikan jilbab tersebut kepada instrinya masrurah dan berbincang dengan istrinya bahwa “Allah tidak akan memberi manfaat dan kemuliaan bagi umatnya yang tidah mau hidup berjamaah. Tidak bagi umat terdahulu dan tidak juga untuk umat yang hidup di akhir zaman“ Hadratussyaikh mengharapkan semua umat islam di Indonesia bersatu seluruhnya untuk melawan para penjajah yang menjajah negeri ini yang memiliki begitu banyak lahan dan hasil bumi.   

     Kisah film ini dimulai dengan penolakan masyarakat Islam dengan “Sikerei”. Sikerei merupakan upacara tentara Jepang untuk menyembah Dewa Matahari yang disimbolkan dengan menundukkan badan menyerupai gerakan ruku’. Hal ini juga ditentang oleh para ulama termasuk Hadratussyaikh KH. Hasyim As’ari. Hingga kemudian tentara Jepang datang ke pondok Tebuireng untuk menangkap kyai dengan membawa senjata api bahkan nyaris membakar para santri yang sedang belajar di tempat itu. Hadratussyaikh tidak mau melakukan sikerei karena ini bertentangan dengan agama islam dan juga merupakan salah satu bentuk penyembahan kepada selain Allah. Bahkan dengan tegas Hadratussyaikh menyatakan bahwa “Sikerei itu haram”.

   Selanjutnya hadratussyaikh dibawa oleh tentara Jepang untuk dipaksa menandatangani kesepakatan untuk melakukan Sikerei. Namun Hadratussyaikh menolak hingga beliau disiksa hingga tangannya berdarah. Beliau juga melihat beberapa orang muslim yang disiksa oleh tentara Jepang karena menolak untuk melakukan Sikerei.

     Saat Hadratussyaikh dibawa oleh tentara Jepang, dua orang santri beliau yang bernama Harun dan Khamid mengikutinya sampai di tempat tentaja Jepang membawa Hadratussyaikh. Kemudian mereka berdua ketahuan oleh salah seorang tentara Jepang. Mereka dikejar oleh serombongan tentara Jepang. Mereka pun bersembunyi di salah satu rumah penduduk. Kemudian Khamid menyerahkan diri kepada tentara Jepang kareena memilih untuk menyelamatkan Harun dan penghuni rumah yang mereka gunakan untuk bersembunyi hingga Khamid tertembak mati oleh tentara Jepang setelah mengakui bahwa dirinya adalah salah seorang santri KH.Hasyi As’ari

     Santri Tebuireng pun melakukan pemberontakan kepada tentara Jepang menuntut pembebasan Hadratussyaikh dan tahanan muslim lainnya. Para santri mendengar jeritan Hadratussyaikh yang sedang disiksa oleh tentara Jepang ,kemudian para santri semakin berambisi untuk masuk namun gagal dan hanya menyerukan kalimat semacam pujian di depan gerbang. Dan akhirnya Jepang menolak tuntutan para santri dan memindahkan Hadratussyaikh dari Jombang ke Mojokerto.

     Setelah dipindahkan ke Mojokerto, gus Wahid Hasyim dan KH.Wahid Hasbullah melakukan perundingan melaui jalur diplomasi. Beliau berdua mendatangi tentara Jepang dan juga para pemimpinnya, hingga Jepang pun melunak setelah mendapatkan penjelasan oleh masyarakat pribmi yang bekerja kepada Jepang bahwa masyarakat Indonesia sangat kuat ikatan persaudaraannya dengan dilandasi agama Islam. Akhirnya Jepang pun melepaskanHadratussyaikh beserta para ulama lainnya dari dalam penjara.

     Pada 7 September 1942 Saiko Sikikan mengumpulkan 32 ulama dari Jawa dan Madura di gedung Gubernur untuk membahas “Latihan Kyai” yang akan diadakan pada 1 Juli 1943. Kemudian Jepang pun membubarkan MIAI (Majelis Islam Ala Indonesia) dan mendirikan MASYUMI (Majelis Syuro Muslimin Indonesia) dibawah pimpinan KH.Hasyim As’ari.

     Pada 1943 di Denaran nyai Masrurah berbincang dan mengingatkan kepada Sari yang akan dipersunting oleh Harun bahwa “Perempuan itu ibaratnya pakaian bagi seorang laki-laki. Yakni menghangatkan dimusim hujan dan meneduhkan dimusim kemarau”. Akhirnya Harun dan Sari sah menjadi pasangan suami istri hari itu juga.

     Pada akhir 1943 di Tebuireng, Jepang membujuk MASYUMI untuk membentuk barisan sebagai berikut :
1. Membangun badan “Barisan Melipat Gandakan Hasil Bumi”
2. Anggota barisan propaganda membentuk hasil bumi.

    KH.Hasyim As’ari menerima permintaan tersebut tanpa tau apa kepentingan tentara jepang melakukan semua itu selama tidak ada penyelewengan. Sebab “Sesungguhnya sesuatu hal ketaatan itu apabila telah bercampur dengan kemaksiatan yang tampak jelas (roji) maka WAJAWABUHA (harus ditolak”.

     Jepang juga meminta pada para ulama untuk membuat khutbah propaganda memperbanyak hasil bumi yang akan dikhotbahkan di masing-masing masjid setelah sembahyang jum’at dengan melakukan pendekatan keagamaan untuk membuat hati para petani tergugah bukan karena paksaan seperti menyetil ayat-ayat Al-Qur’an dan juga Hadits mengenai mengenai memperbanyak hasil bumi di setiap khutbah propaganda tersebut.

     Kebijakan Jepang untuk melipat gandakan hasil bumi pun mulai menuai protes dari masyarakat Indonesia.Beberapa pemberontakan pun terjadi, salah satunya di daerah Singaparna, Tasikmalaya, Jawa Barat (1944). Pemberontakan ini dipimpin oleh KH.Zaenal Mustafa yang menentang kebijakan tanam paksa tersebut. Sikap MASYUMI seakan-akan diam menuai pertanyaan dari masyarakat hingga kemudian KH. Zaenal Mustafa dihukum penggal oleh Jepang di pesisir Ancol. Dengan terbunuhnya KH.Zaenal Mustafa membuat Harun tidak mempercayai dan bersikap suudzon terhadap KH. Hasyim As’ari karena tidak mau turun tangan. Hal ini juga membuat sebagian besar masyarakat mengira bahwa MASYUMI bersekongkol dengan Jepang untuk memperganda hasil bumi rakyat.

     Tentara Jepang menawarkan sebuah kesepakatan kepada KH.Hasyim As’ari untuk menjadi ketua MASYUMI sekaligus ketua dari SHUMUBU(departemen agama ). Dan KH.Hasyim As’ari pun menerima pertawaran tersebut agar dapat memperjuangkan Indonesia dari dalam. Menurut KH.Hasyim As’ari, dengan masuknya beliau ke SHUMUBU akan dapat mengambil kebijakan yang tidak merugikan rakyat dan tidak akan terulanginya peristiwa Zaenal Mustofa dengan 1 syarat yakni beliau tetap di Tebuireng dan tugas menteri agama di Jakarta akan diwakilkan oleh putra sulungnya (gus Wahid Hasyim).

     Saiko sikikan membacakan pengumuman janji kemerdekaan Indonesia oleh PM Kolso di Tokyo karena kedudukan Jepang mulai goyah dan mereka membutuhkan dukungan lebih besar dari rakyat Indonesia. Saiko pun meminta agar pemuda-pemuda Indonesia agar masuk ke dalam Heiho. Namun KH.Hasyim As’ari menolaknya dengan alasan para pemuda tidak akan mau dengan penawaran tersebut untuk berperang di negeri orang. Kemudian Jepang menawarkan pelatihan militer untuk pemuda-pemuda Indonesia dengan perjanjian akan memerdekakan Indonesia dan beliau pun menerima penawaran tersebut dengan syarat hanya untuk menjaga pertahanan dalam negeri, tidak untuk masuk HEIHO melainkan berdiri sendiri membentuk barisan sendiri yaitu barisan HISBULLAH.

    Kemudian atas perintah KH.Hasyim As’ari, gus Wahid Hasyim memerintahkan kepada departemen agama untuk menyebarluaskan berita pembentukan HISBULLAH ke setiap pesantren-pesantren,setidaknya ada empat atau lima santri dari setiap pesantrennya.

     Kebun karet Cibarusa,Jawa Barat pada tanggal 11 Agustus mendapatkan informasi dari sekretaris negara yang menyatakan tentang penerimaan deklarasi dimana Jepang menyerah secara keseluruhan. Proses penyerahan secara formal oleh pihak Jepang akan dilaksanakan secepatnya. Jenderal Doughas Mc Artur dilpilih sebagai komandan pasukan Sekutu untuk menerima penyerahan kekalahan Jepang. Dan akhirnya Jepang mengalah kalah pada Sekutu pada 14 Agustus 1945.

Tentara Sekutu pun mendarat di pantai luar Surabaya dipimpin oleh Brigadir Mallaby.
         
    Kemerdekaan Indonesia pun semakin dekat, Soekarno melalui utusannya meminta pernyataan membela tanah air kepada kepada KH.Hasyim As’ari untuk melawan penjajahan. Bung Karno menitipkan pesan kepada utusannya untuk disampaikan kepada KH.Hasyim As’ari yaitu “Apakah hukumnya membela tanah air bukan membela Allah,membela Islam atau membela Al-Qur’an?”. Utusan Bung Karno sempat mengulangi pertanyaan tersebut sampai dua kali.


     Kemudian beliau menjawab saat diadakannya fatwa jihad 24 September 1948 di dalam gedung GP Ansor Surabaya bahwa “Hukum membela negara dan melawan penjajah adalah fardhu ‘ain bagi setiap mukallaf yang berada dalam radius Masha Assyafa. Perang melawan penjajah adalah JIHAD FISABILILLAH. Oleh karena itu, umat islam yang mati dalam peperangan itu adalah Syahid dan mereka yang mengkhianati perjuangan umat islam dengan memecah belah persatuan dan menjadi kaki tangan penjajah wajib hukumnya dibunuh”. Hal ini dapat diartikan bahwa setiap umat Islam wajib memperjuangkan tanah airnya demi kemuliaan Islam. Pemberontakan pun berlanjut, dan kemerdekaan pun dikumandangkan pada 17 Agustus 1945. Peperangan masih berlanjut dan Jepang pun angkat kaki dari Indonesia.

    Bung Tomo adalah salah satu pejuang kemerdekaan pun datang dan bertemu langsung kepada KH.Hasyim As’ari untuk meminta wejangan dan nasehat. Beliau pun berkata kepada Bung Tomo yakni “Awali dan akhiri pidato dengan menyebut kebesaran Allah Allahu Akbar, Allahu Akbar,Allahu Akbar”.

     Bung Tomo pun menyatakan orasinya kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa “Tentara Inggris telah menyebarkan pablet-pablet yang memberikan ancaman kepada seluruh rakyat dan mereka memerintahkan kepada rakyat Indonesia harus menyerahkan semua senjata yang berhasil direbut dari tangan tentara Jepang dan mereka pun meminta rakyat Indonesia datang kepada mereka dengan mengangkat tangan dan membawa bendera Merah Putih sebagai tanda bahwa Indonesia telah kalah”. Bung Tomo menghimbau kepada seluruh rakyat untuk melawan tentara Belanda karena beliau yakin bahwa Tuhan akan melindungi kita semua dan mengakhiri pidatonya dengan 3 kali takbir.

     Sebagian besar para pemuda sudah berkumpul di Surabaya. Dan pemuda Jombang pun berangkat ke Surabaya pagi itu juga.KH.Hasyim As’ari memberikan nasehat sebelum keberangkatan mereka ke Surabaya bahwa “Innamal a’malu binniat” artinya segala tindak perbuatan itu bergantung pada niat. Jihad hendaknyalah dilakukan dengan penuh kasih dan sesuai dengan aturan sebab jihad adalah jalan kebenaran menuju ridho Allah SWT. Rasulullah saw bersabda “jihad yang paling besar itu adalah jihad melawan nafsu dalam diri”.

     Peperangan pun terus berlanjut. Pada tanggal 28 Oktober 1948, Kota Surabaya berhasil dikepung oleh para pemuda-pemuda Indonesia kemudian Brigadir Mallaby pun menghubungi Jenderal hawton di Singapura. Dan Jenderal Hawton pun menyanggupi untuk menjemput Soekarno dan Hatta. Mereka akan membuat kesepakatan gencatan senjata.

     Masih di area perang di Surabaya, Haru membuka sehelai kain yang di dalamnya terdapat sebuah surat yang diberikan oleh Sari saat sebelum berangkat ke Surabaya. Harun bangga karena ternyata Sari telah hamil dan ia akan segera menjadi seorang ayah.

     Terjadi genjatan senjata. Komunikasi yang terputus menyebabkan dari 8 pos pertahanan Inggris, 2 pos belum mendengar kabar adanya gencatan senjata. Belanda mendatangi gedung Internatio, Jembatan Merah 30 Oktober 1945 Jenderal Mallaby tentara Belanda diperbolehkan masuk dengan syarat semua orang yang berada dalam gedung keluar tanpa membawa senjata dan dikawal sampai bandara. Baku tembak antara Belanda dan pemuda Indonesia pun terjadi. Banyak korban berjatuhan termasuk Harun santri Tebuireng.

     Pengganti Brigadir Mallaby, Mayjen R.C Mansergh memberikan ultimatum pada para pemimpin di Surabaya agar menyerah pada tanggal 9 November 1945 pukul 18.00.

Pada 1947, pasukan marinir Belanda yang membonceng Sekutu mulai melancarkan agresi militer 1.

     Film ini ditutup dengan wafatnya Hadratussyaikh KH. Hasyim Asyari, padahal pada saat itu para pejuang Islam masih membutuhkan banyak nasehat dari beliau untuk tetap mempertahankan negara Indonesia ini dalam bingkai ke-Islam-an. Pada saat itu pula Agresi Belanda I yang terjadi pada tanggal 21 Juli 1947. Jombang pun diserang oleh Belanda, bahkan pesantren Tebuireng dibakar oleh Belanda karena dituduh sebagai sarang pemberontak Muslim.

     Belanda akhirnya mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 27 September 1949. Penyerahan kedaulatan ditandatangani di istana Dam,Amsterdam.

     “Semua orang yang melawan penjajah itu adalah pahlawan. Tidak ada yang lebih berjasa daripada yang lain kalaupun ada yang melupakan jasa mereka juga tidak mengapa karena Allah menjanjikan tempat yang sebaik-baiknya bagi para Syuhadak”.

7 komentar:

Unknown mengatakan...

Terima Kasih Kak Atas Materi yang Sudah Disampaikan dalam Blog Ini,Sangat Membantu Sekali.. :D

Unknown mengatakan...

terima kasih kaka :D

Unknown mengatakan...

sama2 senang bisa membantu :) @rizki @ihza

riel alfadly mengatakan...

Subhaanallah

Unknown mengatakan...

terimakasih resensinya,, sangat membantu ^_^

Unknown mengatakan...

terimakasih resensinya,, sangat membantu ^_^

Hasan Habiburrahman mengatakan...

thanks,

Posting Komentar

 

Catatan Tangan Template by Ipietoon Blogger Template | Gadget Review